Insomnia

Agnes Larasati
1 min readAug 6, 2017

Mata sulit terpejam, hati tak menentu ditambah secangkir teh tawar panas dan aku pun mulai menulis.

Seorang perempuan duduk termenung di depan pintu minimarket, wajahnya muram. Saat ia terlarut dalam pikirannya, tiga orang pria datang menghampiri, menawarkan sebatang rokok dan secangkir kopi. Perempuan yang sedang kalut itu tampak sedikit bingung namun tetap mempersilakan ketiga pria tadi untuk duduk bersama.

“Apakah arti hidup? Bukankah kita hidup hanya untuk mati di akhir?” tanya perempuan itu tiba-tiba.
Hidup adalah anugerah dari Tuhan, dan kau tak berhak berkata seperti itu,” balas temannya cepat.
“Aku tahu, tapi aku lelah. Aku ingin pergi saja.”
Pergi ke mana?”
“Jauh dari sini, pulang ke rumah Bapa.”
Wahai gadis kecil, apa lagi yang kau cari?” tanya salah satu pria itu tanpa ragu.

Ini bukan kali pertama mereka berbicara tentang kematian. Bila kau tak mengenal mereka, kau pasti mengira mereka sedang bercanda. Pertanyaaan eksistensial ini terlalu rumit untuk dijawab secara rasional. Raut muka perempuan itu semakin muram.

“Ya sudah, ayo kita ke Cimory.” ajak perempuan itu.
Ayo saja!” teriak ketiga temannya.
Lalu pergilah mereka berempat ke Cimory, beli oleh-oleh, beli makan malam.
Lalu pulang.

-Selesai-

--

--

Agnes Larasati

Hi, welcome to my medium, hope you’re here to stay.